Bulek dan Reminder dari Gusti Allah (bag.2)

Rabu, 8 Agustus pukul 08.30. Aku buru-buru berangkat lebih awal karena mau mampir perpanjangan STNK motor terlebih dahulu. Di lorong sebelah rumah, aku berpapasan dengan Mbak Nisa yang hendak menyiram tanaman di halaman depan. Di depan rumah aku berpapasan juga dengan Mbak Novi, menantu bulek yang sehari-hari berjualan takoyaki dan jus di depan rumah. Kami pun saling bertegur sapa. Tidak ada pikiran macam-macam di kepalaku. Semua baik-baik saja, kukira.

Sekitar jam 10.40, Mas menjemputku ke tempat kerja.
“Nomor hp mu dihubungi kok ndak bisa?”
“Iya, hp ku rusak, nggak pegang hp jadinya.”
”Sudah tau belum, kalau Lek Um nggak ada?”.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un..”, aku kaget bukan kepalang.
Aku bergegas menutup toko dan pulang ke rumah. Ya Allah ini beneran nggak sih.. bisikku dalam hati sambil menahan air mata yang hendak menetes.

Sampai di rumah, rumah bulek sudah dipasangi tenda dan sudah ramai orang, kursi-kursi dikeluarkan. Aku disambut oleh bapak dengan mata merah sembab.
Aku langsung meletakkan tas dan menuju rumah bulek dengan perasaan dag dig dug.
Sekujur tubuh terbaring di ruang tengah, ditutup dengan kain batik. Ya Allah.. ternyata beneran, bulek udah nggak ada. Aku memeluk erat anak-anak bulek sambil menyampaikan bela sungkawa. Tangis pun pecah di antara kami. Budhe yang baru datang bahkan nyaris pingsan sempoyongan ketika membuka kain penutup untuk melihat wajah bulek. Subhanallah.. ini benar bulek. Tapi yang aku lihat wajahnya tersenyum, cantik berpoles bedak dan lisptik. Berbeda sekali dengan yang aku lihat sehari yang lalu dimana wajah bulek sangat pucat dan tanpa make up sama sekali. Aku juga turut menyaksikan prosesi pemandian jenazah, subhanallah.. aku masih terkesima, badan bulek masih gemuk, bersih, kuning langsat dan segar, tak seperti orang yang habis sakit. seperti orang tidur biasa saja.
Aku kembali masuk ke rumah, bertemu ibu dan mbak.
“Ya Allah bu, baru semalem aku bilang sama ibu. Bu, Lek Um gimana, masih diare atau enggak.”
Semalam selepas maghrib aku memang sempat menanyakan hal itu pada Ibu. Ibu jawab belum tahu, belum sempat nanya.
“Mbok ditanyain bu..”, tambahku semalam. Tapi aku segera tidur cepat karena kepala terasa pening saat itu. Entah ini firasat atau bukan.
Tak disangka bulek pergi secepat ini. Dan kebersamaan dengan bulek hari kemarin ternyata jadi pertemuan terakhirku dengan bulek. Sedikit tersisa penyesalan karena belum sempat menanyakan kondisi bulek pasca dari puskesmas.
“Lha wong tadi pagi masih duduk di depan rumah kok.. make up-an segala. Yo Ibu kira udah sehat tho..”

Menurut cerita anaknya, kondisi bulek memang sudah agak baikan. Obat diarenya juga sudah habis. Sekitar jam 8 bulek sempat duduk di depan rumah, kemudian masuk ke kamarnya. Mungkin untuk istirahat karena masih lemas. Semua menduga demikian.
Jam 9 ketika Mbak Novi hendak mengantarkan makanan, dia mendapati bulek tidur dengan posisi yang tak biasa. Posisinya terlentang, hanya saja separuh badan di kasur dan kakinya di lantai – karena memang kasur bulek tidak memakai dipan. Seisi rumah panik dan memanggil ibu yang kebetulan pagi itu hanya di rumah. Ibu lari menghampiri bulek, mendekatkan jari tangan ke hidung bulek. Tidak ada nafas, namun ibu masih berharap bulek hanya pingsan.
Ibu meminta Mbak Nisa membisikkan kalimat tauhid di telinga bulek, dan Mbak Novi membacakan surat Yasin, lalu ibu berlari memanggil pakdhe (kakak kandung bapak dan bulek) yang rumahnya juga bersebelahan dengan kami.
Pakdhe memegang urat nadi bulek dan memeriksa nafasnya, “ini sudah nggak ada”, kata pakdhe. Tangispun pecah.
Demikian kronologi berpulangnya bulek ke pangkuan Ilahi. Semua terjadi begitu cepat.

Menjelang Ashar, orang-orang kian ramai memadati rumah duka. Jenazah bulek sudah bersiap diberangkatkan ke masjid. Tinggal menunggu 1 orang anak bulek, yang bernama Alo, yang bekerja di Bali. Begitu dikabari bulek meninggal, Alo langsung terbang dengan pesawat.
Padahal, jam 7 pagi bulek masih berkomunikasi via telepon dengan Alo.
Detik-detik menjelang adzan Ashar, terdengar suara benda dibanting ke lantai, disusul dengan teriakan histeris. Kerumunan orang langsung mendekat ke arah suara. Ternyata si Alo yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Paket berisi barang dilempar begitu saja dan ia langsung berlari mendekat ke jenazah ibunya sambil menangis sejadi-jadinya. Para pentakziah pun ikut larut dalam suasana haru melihat kejadian tadi. Isak tangis pecah dimana-mana mengantar kepergian jenazah bulek ke peristirahatan terakhirnya. Tak lama setelah kedatangan anaknya, prosesi langsung dilanjutkan, jenazah disholatkan kemudian dimakamkan.

1 hari berlalu pasca meninggalnya bulek, rasanya masih sulit percaya. Mata terkadang masih ingin menangis kalau mengingat satu per satu kenangan bersama bulek. Tapi sebetulnya yang benar-benar membuatku sedih adalah kenyataan ini seperti sentilan buatku. Gusti Allah sedang memberi isyarat bahwa waktu terus berjalan, kita, apalagi orang tua kita, sudah tentu makin menua. Inilah kehidupan dunia. Yang ada, kemudian menjadi tiada, yang datang kemudian pergi dan berganti. Hanya ada dua kemungkinan, meninggalkan, atau ditinggalkan. Dua pilihan yang sama sulitnya. Karenanya kita tidak diberi pilihan. Semua sudah digariskan oleh Tuhan. Kita cukup menanti giliran. Dan yang paling bisa kita lakukan adalah BERSIAP DIRI.

Sudahkah kita bersiap?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Internet (4G LTE) Membuat Kami Selalu Terhubung"

Bulek dan Reminder dari Gusti Allah (bag.1)